GiE: Premiere for Today!
Film
GiE diputar di bioskop mulai hari ini. Rame atau ngga, gw ga tau, soalnya emang nggak nonton. Rencananya hari Sabtu nanti baru nonton bareng blogger Makassar (atas usulnya
soeltra yang ceriwis ini hehe). Jadi, ya belum nonton lah!
Berikut ada sedikit kutipan artikel mengenai film ini yang diambil dari
sini:
Saatnya bangsa ini untuk diingatkan, bahwa negeri ini pernah memiliki Soe Hok Gie. Aktivis muda yang memilih diasingkan, ketimbang menjadi manusia munafik.
Ia memang pantas diidolakan karena kegigihannya dalam bersikap dan menuntun dirinya untuk jujur pada nilai-nilai yang diyakininya. Inilah saatnya, generasi muda dikenalkan pada sosoknya agar mau belajar padanya. Bukan kepada mereka yang melacurkan dirinya pada kekuasaan, jabatan dan kemewahan.
Di tangan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana, usaha itu dicoba dirintis. Lewat film berbeaya Rp7 miliar itu, kedua sinaes muda ini menghadirkan kepada masyarakat Tanah Air, sebuah interpretasinya terhadap sosok Gie. Kalaupun banyak hal tak sesuai dengan apa yang dibayangkan orang-orang, terutama yang pernah dekat dengannya, toh kata Mira, itu karena film ini merupakan sebuah interpretasi Riri terhadap Gie. Bukan film dokumenter ataupun film biografi!
Cukup repot menggali informasi seputar kehidupan Gie. Apalagi yang menyangkut kehidupan pribadinya. Riri bahkan harus pergi ke luar negeri untuk menemui perempuan yang pernah dekat dengan Gie. Meski kisahnya bisa didapat, tak sedikit nara sumber yang keberatan untuk disebutkan namanya dalam film Riri tersebut.
Menyajikan film Soe Hok-gie tentu saja merupakan sebuah kerja besar yang tak bisa dianggap enteng. Usaha para sineas ini patutlah diacungi jempol. Setidaknya, karya mereka bukanlah film ecek-ecek yang kini banyak bermunculan di layar sinema kita.
Iri Supit, sang penata artistik, mampu menghadirkan suasana Jakarta di tahun 60-an. Ini jelas bukan pekerjaan gampang. Sejumlah pernak-pernik yang dihadirkan sudah tentu harus mewakili zamannya. Lihatlah sepeda dan mobil-mobil zaman baheula berseliweran di layar Gie dan mampu menghidupkan suasana kala itu.
Mengenai Jakarta yang kini sudah banyak berubah, para pekerja film ini akhirnya sepakat menjadikan kota Semarang sebagai lokasi syuting.
Beruntung, suasana Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat, tempat Gie bermukim bersama orangtuanya dulu, berhasil ditemukan di sana, tepatnya di Jalan Layur. Mirip suasana Kebon Jeruk tahun 50-an, Jalan Layur dipenuhi tukang becak, pedagang dan sebuah masjid.
Menyaksikan Soe Hok Gie, berarti menyaksikan sebuah keteguhan dalam melakoni prinsip-prinsip yang diyakininya benar. Ia sempat menjadikan Soekarno sebagai idolanya, namun ia jugalah yang turut menggulingkan keperkasaan Soekarno sebagai penguasa Orde Lama.
Gie, adalah seorang yang selalu dipenuhi kegelisahan. Suara-suara kegelisahan itu lah yang dicurahkannya lewat tulisan-tulisan yang cukup tajam. Semua dibabat habis, baik militer, rekan-rekan aktivis kampus yang telah lupa pada perjuangan awalnya, hingga kampusnya sendiri. "Inilah akhir bagi Gie, ketika ia mengkritik kampusnya sendiri. Dia seperti tak punya rumah lagi," kata Riri.
Takdir telah ditentukan padanya. Gie mati muda di pangkuan sahabatnya Herman Lantang, ketika ia mendaki Gunung Semeru, gunung tertinggi di Jawa. Sebuah akhir yang tragis. Namun, Riri sengaja tak memunculkan adegan itu sebagai penghujung cerita. Ia justru menghadirkan senyum dan kebahagian Riri bersama sahabatnya Han, saat bermain di pantai.
Ya, sebuah tempat yang dicita-citakan Han semasa hidupnya. Dan, hal itu justru terkabul ketika ia mengakhiri hidupnya. Ia dieksekusi tentara di sebuah pantai di Bali, karena menjadi anggota aktivis Partai PKI.
Menghadirkan Gie kembali dalam benak masyarakat saat ini, memang terasa perlu. Terlebih, ketika negeri ini telah kehilangan panutan. Banyak para pejabat asyik menggerayangi aset-aset negara. Sosok-sosok Gie lah yang bisa menjadi jawabanya. "Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau..."
Gw sendiri pengen banget nonton film ini karena gw pengen melihat refleksi kehidupan Gie yang dituang dalam film tersebut. Yang selama ini hanya dalam bayangan di benak masing-masing orang. Apalagi nyokap gw bilang, "
Soe Hok Gie? Adiknya Arief Budiman itu? Ndak ada yang nggak kenal Soe Hok Gie. Dia angkatan di atas Mama, angkatan 66 tapi Mama tahu kalau dia itu orang hebat banget. Polos dan memiliki semangat serta sangat idealis. Saking idealisnya, dia kekeuh nggak mau ganti nama, padahal zaman itu orang-orang etnis tionghoa banyak yang mengganti namanya menjadi nama Indonesia, termasuk kakaknya sendiri, Arief Budiman. Nama aslinya Arief itu Soe Hok Djin.".
Siapa yang nggak tau
quote Soe Hok Gie yang terkenal, yang diukir pada (eks) makamnya di Tanah Abang, sebelum akhirnya digusur (lagi):
"
Nobody Knows The Troubles I See, Nobody Knows My Sorrow".
So, udah ada yang nonton
GiE?
Would you please share to me..?